Sabtu, 16 November 2013

Berbahasa dan Cara Berpikir.



Pernahkah kita menyadari, bahwa dalam berpikir kita mempergunakan bahasa sehari-hari? Bahwa bahasa bukan saja dipergunakan untuk berkomunikasi, melainkan juga menjadi kebiasaan cara ber pikir menurut bagaimana kita bercakap-cakap, bertutur-kata, menggunakan suatu bahasa.
Hal ini dapat terlihat; seorang berbahasa Indonesia sehari-harinya, bepergian ke tempat dimana di- gunakan bahasa Mandarin. Walau ia menguasai bahasa Mandarin dengan baik, ia memerlukan be- berapa waktu sebelum kembali fasih berbahasa Mandarin, beberapa waktu untuk beralih kebiasaan dan cara berpikir menurut bahasa Mandarin, setidaknya pertama untuk mulai berkomunikasi.
Sesudah cukup lama berada disana, ketika kembali ke Indonesia, terulang lagi diperlukan waktu menga- lihkan cara berpikir dimaksud tadi. Makin sering per- pindahan antara kedua tempat, makin singkat waktu peralihan kebiasaan berpikir yang diperlukan.

Pemahaman dan pembentukan cara berpikir.
Peralihan cara berpikir ini terjadi atas berbagai peng gunaan bahasa. Manakala berbahasa daerah Jawa, Sunda atau Bali dengan budaya tingkatan kastanya; pikiran kita bekerja untuk pemilihan kata yang tepat, agar mendapat persesuaian pembanding status an- tara yang berbicara dengan pihak yang diajak berbicara.
Apabila bahasa Inggris yang digunakan, pikiran bekerja atas penyusunan tata bahasanya, sebagai- mana bahasa itu mementingkan grammar sebagai pernyataan sikap sopan dan penekanan lainnya disamping menerangkan mengenai waktu. Dan terjadi seterusnya pada bahasa lain dengan kekhu- susannya, seperti penggolongan gender setiap benda dan sebagainya.
Begitulah bahasa membentuk cara berpikir. Mempelajari suatu bahasa tertentu lain, membawa kita kepada pemahaman akan cara berpikir bangsa atau suku berbahasa itu, karena tanpa disadari, se- telah fasih berbahasa tersebut, kita sendiri berpikir menurut cara bangsa atau suku itu. Pada tahap itulah kita baru dapat merasakan lucunya kelakar mereka, atau kerasnya sindiran dalam bahasa itu, dan pesan lain terkandung, meski diungkap dalam kata-kata yang baik dalam satu kalimat saja.

Mulai dengan bahasa ibu, yang baik.
Sebelum membicarakan bahasa asing, yang mungkin lebih rumit tata bahasanya ditambah dengan keunikan lain, adalah baik melihat terlebih dulu bagaimana kita berbicara dalam bahasa ibu. Secara sederhana disimpulkan bahwa siapapun yang tidak menguasai bahasa ibu dengan baik, menunjuk- kan perlunya ia memperbaiki cara berpikir. Tentulah ia juga akan menghadapi kesulitan besar untuk mempelajari bahasa lain.
Untuk dapat berkomunikasi dalam bahasa verbal apapun, selalu diawali dengan pengetahuan akan perbendaharaan kata dan pelafalannya, dan ini belum mencukupi. Untuk merangkum kata menjadi- kannya sebuah informasi, masih lagi diperlukan pengetahuan tata bahasa.
Adalah memprihatinkan melihat bagaimana orang yang belum menguasai bahasa ibu dengan baik, namun memaksakan diri menggunakan kata-kata asing tanpa memahami akan artinya, seperti ter- lihat pada kata “mobil second”. Mungkin yang dimaksudkannya adalah “mobil bekas pakai”, namun kata asing yang digunakan itu sama sekali tidak memberi arti seperti yang dimaksudkan.
Tentu banyak pembaca mengetahui, bahwa “second” dalam bahasa Inggris, untuk konteks diatas, berarti “kedua”, sedangkan untuk menyatakan “bekas pakai”, adalah “second hand”. Begitulah ada- nya bilamana kita menggunakan bahasa Inggris.
Semoga saja ini tidak berarti bahwa kita malu menggunakan bahasa ibu, yang sebenarnya memiliki keindahan bahasa juga. Kita tidak harus menggunakan kata-kata asing yang tidak kita pahami akan artinya, dengan demikian tidak menurunkan martabat sebagai manusia, sebagai halnya dengan be- berapa jenis burung yang dapat berbicara tanpa mengetahui artinya.

Bahasa, pencerminan cara berpikir.
Setelah memahami betapa bahasa membentuk cara berpikir, kita juga dapat memahami bagaima- na cara berpikir seorang melalui caranya berkomunikasi. Efektifitas dan Sistimatis nya berpikir, ter- lihat dalam rangkuman kata, menjadikan kalimat relatif singkat menyampaikan informasi, begitupun kecepatan menangkap pesan yang disampaikan kepadanya.
Ada juga yang terbiasa berkalimat panjang lebar menyampaikan informasi yang sebenarnya hanya sederhana. Kepadanya perlu penyampaian panjang lebar juga sebelum dapat ia menangkap pesan yang terkandung. Kalimat singkat, seperti tertulis pada rambu lalu lintas, belum cukup membuatnya mengerti akan pesan peraturan lalu lintas itu. Mengapa demikian?
Kiranya cara berkomunikasi dan cara berpikir mempunyai korelasi satu sama lain. Kebiasaan cara berkomunikasi membentuk cara berpikir dan cara berpikir tercermin dalam berkomunikasi. Sebagai mana kita ketahui bahwa kebiasaan bukanlah sesuatu yang tidak dapat diubah, begitu pula dengan cara kita berpikir. Hanya saja diperlukan keinginan kuat untuk membuang jauh sikap bertahan untuk berubah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.